Perlindungan konsumen
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan.
Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan
perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan,
masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan
konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu
dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini,
banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada
konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang
secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa
yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha
yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja
barang/jasa yang dikonsumsinya.
B.RUMUSAN MASALAHMenurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.
Selain kurangnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-hak dan kewajibanya yang terkait dengan tingkat pendidikannya yang rendah,pemerintah selaku penentu kebijakan,perumus,pelaksana sekaligus pengawas atas jalanya peraturan yang telah dibuat sepertinya masih kurang serius dalam menjalankan kewajibannya.
ll.ISI
2.1. Pengertian konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki
arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau
sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang
berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
2.2Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang
berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen
bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan
cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum
konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal
30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh
pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan
oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah
perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika
terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya
dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi
landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping
UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang
juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
2.3. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1
Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak
konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar
pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU
Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak
dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika
ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin
oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan
kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai
dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa
kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan
oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah
memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang
demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan
konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin
terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau
jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan
fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,
Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Disamping itu, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum
yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya
Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang
yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
- Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999,
tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/ atau
jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3) HAK & KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa,
konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak
konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis
dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Pada era globalisasi dan perdagangan
bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi,
memberdayakan konsumen semakin penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita
telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang
perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban
yang harus dilakukan, yaitu :
a) Hak Konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen
pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut
:
· Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
· Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
· Hak untuk didengar pendapat keluhannya
atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
· Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
· Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
b) Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan
Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
· Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
· Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
· Membayar sesuai dengan nilai tukar
yang disepakati;
· Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dengan terbitnya undang-undang
tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan
dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting dalam hal
ini adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak konsumen yang
seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar juga konsumen juga menyadari apa
yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling
memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen
merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa yang menjadi kewajiban
konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling menghormati apa yang
menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan
(tawazun) sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip
keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala
aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus
memperhatikan kepentingan orang lain.
4) HAK & KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku
usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 UUPK adalah :
1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2) hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3) hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha
menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah :
1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama,
tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan
kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan
hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan
umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5) PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan
ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni :
1) larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi (Pasal 8 );
2) larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
pemasaran (Pasal 9 – 16); dan
3) larangan bagi pelaku usaha periklanan
(Pasal 17)
Adapun perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
Ø
Tidak sesuai dengan :
· standar yang dipersyaratkan;
· peraturan yang berlaku;
· ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
yang sebenarnya.
Ø
Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain
mengenai barang dan/atau jasa yang
menyangkut :
· berat bersih;
· isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
· kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran;
· mutu, tingkatan, komposisi;
· roses pengolahan;
· gaya, mode atau penggunaan tertentu;
· janji yang diberikan;
Ø
Tidak mencantumkan :
· tanggal kadaluarsa/jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
· informasi dan petunjuk penggunaan
dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ø
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan
dalam label.
Ø
Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
· Nama barang;
· Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
· Tanggal pembuatan;
· Aturan pakai;
· Akibat sampingan;
· Nama dan alamat pelaku usaha;
· Keterangan penggunaan lain yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
Ø
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan
Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b. Dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan barang dan/atau jasa :
Ø
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
· Telah memenuhi standar mutu tertentu,
potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
· Dalam keadaan baik/baru, tidak
mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari
barang tertentu.
Ø
Secara tidak benar dan selah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
· Telah mendapatkan/memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesoris tertentu.
· Dibuat perusahaan yangmempunyai
sponsor, persetujuan/afiliasi.
· Telah tersedia bagi konsumen.
Ø
Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
Ø
Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
Ø
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Ø
Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
bermaksud tidak dilaksanakan.
Ø
Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya
atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
Ø
Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
c. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau
menyesatkan mengenai :
Ø
Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
Ø
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
Ø
Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
Ø
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
Ø
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
Ø
Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa,
dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f. Dalam hal penjualan melalui obral atau
lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
Ø
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar
mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
Ø
Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual
barang lain.
Ø
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup
dengan maksud menjual barang lain.
Ø
Menaikkan harga sebelum melakukan obral.
6) KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
Perjanjian dengan klausula baku atau
Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggris dengan
standardized contract. Pada awal dimulainya sistem perjanjian, kebebasan
berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat
penting. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, para
pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan
syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah
dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk
disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian
baku.
Dengan cara yang praktis ini, pihak
pemberi kontrak standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat
rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil
kesempatan di kala lawan perjanjian tidak berkesempatan membaca isinya secara
detil atau tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha
– konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku
usaha. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dibuat oleh Kessler bahwa
perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal,
perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya
konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari
kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat
dalam pasal 1 butir 10 yang menyatakan sebagai berikut :
“Klausula baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Di dalam pasal 18 undang-undang
nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku
pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1. menyatakan pengalihan tanggungn jawab
pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen;
4. pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara
angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena
itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya
yang bertentangan dengan undang-undang.
7) TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun
1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung
jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21
mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19.
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal
yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
· barang tersebut terbukti seharusnya
tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan;
· cacat barang timbul pada kemudian
hari;
· cacat timul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang;
· kelalaian yang diakibatkan oleh
konsumen;
· lewatnya jangka waktu penuntutan 4
tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
8) SANKSI
Masyarakat boleh merasa lega dengan
lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :
1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ).
2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah) terhadap : pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang
disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi
bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi
dua, yaitu :
1) Sanksi Administratif (Pasal 60)
a. Badan Penyelesain Sengketa Konsumen
berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang
melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
b. Sanksi administrative berupa penetapan
ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
c. Tata cara penetapan sanksi
administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.
2) Sanksi Pidana
(Pasal 61)
Berkaitan dengan sanksi pidana
menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas
apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal
18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal
16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)
c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan
luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan
pidana yang berlaku.(Pasal 62)
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
·
Perampasan barang tertentu
·
Pengumuman keputusan hakim
·
Pembayaran ganti rugi
· Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
· Kewajiban
penarikan barang dari peredaran
·
Pencabutan izin usaha
demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik
hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya
sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen.
lll.KESIMPULANKesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum,
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar